Sesungguhnya Allah telah memuliakan manusia dari makhluk lainnya, serta memberikan banyak kenikmatan dan kemudahan dalam mengarungi dan menjalani kehidupan. Mereka dapat memenuhi segala kebutuhannya dengan memanfaatkan karunia yang ada di bumi ataupun di laut. Tidak lain agar manusia selalu bersyukur dan menaati apa yang telah diperintahkan Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, mereka akan termasuk golongan orang-orang yang bertakwa.
Tak merupakan puncak kemuliaan manusia. Hendaknya semua orang berlomba untuk berada di bawah bendera takwa dalam naungan Allah. Bendera takwa inilah yang diangkat dan dikibarkan oleh Islam untuk menyelamatkan manusia dan fanatisme terhadap jenis kelamin, bangsa, kabilah, atau suku, dan keluarga serta keturunan.
Abu Hurairah r.a. berkata : “Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Salam, pernah ditanya, ‘Siapa manusia yang paling mulia? Beliau menjawab, “Manusia yang paling mulia atau terbaik disis Allah adalah yang paling bertakwa di antara mereka’. Mereka berkagta, “Kami tidak bertanya tentang itu’. Beliau bersabda, “Manusia yang paling mulia adalah Yusuf, karena ia Nabiyullah (nabi Allah), anak dan Khalilullah (kekasih Allah, ylaitu Nabi Ibrahim)’. Mereka berkata, ‘Bukan ini kami tanyakan’. Lalu, beliau balik bertanya, “Apa kalian bertanya kepadaku tentang barang tambang orang-orang Arab? Mereka menjawab,”Ya”. Nabi Sallahu Alaihi Wa Sallam, bersabda, “Yang terbaik daintara kalian pada masa jahiliyah adalah yang terbaik di dalam Islam, jika mereka faqih (paham dalam urusan agama)”. (HR.Bukhari).
“Sesungguhnya, Allah tidak melihat kepda bentuk (fisik) dan harta (kekayaan) kalian, tetapi melihat kepada hati dan amal perbuatan”. (HR.Muslim)
Tetapi, memang hanya sedikit manusia yang dapat bersyukur atas segela nikmat dan karunia yang sudah diberikan oleh Allah Azza Wa Jalla kepada manusia. Manusia banyak yang ingkar dan berbuat dzalim, durhaka, bukan hanya kepada Allah, tetapi juga terhadap mereka sendiri. Manusia banyak yang berlaku ‘isyraf’ (berlebihan) dalam segala hal, khususnya menggunakan pemberian Allah berupa kenikmatan dunia, dan tanpa mensyukuri atas pemberian-Nya.
Setiap harta dan kekayaan mereka miliki seharusnya disadari sepenuhnya itu merupakan amanat, dan titipan dari Allah Azza Wa Jalla, dan kelak harus dipertanggungjawabkan dihadapan Rabbnya. Tidak ada setitik hartapun yang dimiliki oleh manusia, yang kelak tidak dipertanggung jawabkan kepada Rabbnya. Harta yang dimiliki dan amanah itu, seharusnya untuk dapat menyempurnakan keimanan dan aqidahnya, melalui cara tidak menjadikan harta dan kekayaan sebagai ‘ilah’ (tuhan) baru.
Tidak mungkin seorang mukmin hidupnya dapat mendua. Tidak mungkin seorang mukmin yang sejatih hidupanya menjadi ambivalen. Menjadi Allah Rabbul Aziz, tetapi sekaligus mencintai makhluk dan benda yang merupakan ciptaan-Nya. Manusia harus dapat membuktikan dalam hidupnya, bila dia seorang mukmin yang mukhlis, yaitu hanyalah mencintai Allah secara total, dan hanya menomorkan duakan, segala sesuatu selainnya.
Bila manusia sudah menyadari dirinya sebagai makhluk ciptaan-Nya, dan hanya menjadikan Allah itu, semata-mata tujuannya, tidak mungkin ada rasa berat untuk membagikan harta kekayaan yang merupakan amanah dari Allah, dan kemudian membagikan kepada fuqara dan masakin, yang sekarang ada di mana-mana, dan itu merupakan wujud syukur atas segala karunia.
Bila sikap hidu seperti itu, tidak mungkin akan ada orang yang rakus terhadap dan harta, dan akan selalu memiliki empati yang dalam terhadap mereka yang fakir dan miskin. Indonesia akan menjadi negeri yang aman dan penuh dengan kedamaian. Tidak ada lagi permusuhan dan fitnah diantara mereka. Wallah’alam.
Senin, 19 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar