Sabtu, 22 Mei 2010

Sesat Tidaknya Ajaran Sufi

Tarekat adalah sebutan untuk orang-orang sufi yang menjadikan berbagai cara/jalan/metode bagi diri mereka, seperti : Tarekat Jailaniah, Rifa’iyah, Syadziiah dan lainnya.

Pada umumnya mereka adalah tarekat-tarekat bid’ah yang tidak memiliki keterkaitan dengan syara’ akan tetapi merupakan buah karya dari para pemiliknya sendiri. Mereka menentukan berbagai doa—baik yang masyru’ maupun tidak masyru’—bagi tarekatnya dengan jumlah-jumlah tertentu, dengan gerakan-gerakan tertentu di waktu-waktu tertentu dan lainnya dengan anggapan bahwa hal itu dapat membersihkan diri mereka, menyucikan hati mereka dan mengantarkan mereka ke kedudukan wali yang paling tinggi.

Didalam tarekat-tarekat ini terdapat berbagai penyimpangan syar’iyah yang bertentangan dengan akal sehat dan fitrah yang lurus. Karena itu kebanyakan dari para penganut tarekat membuat berbagai persyaratan untuk mengenal dan memahami tarekat-tarekatnya—seperti yang mereka inginkan—dengan talaqqi langsung dari para syeikh tarekat dan mewajibkan kepada orang-orang yang bertalaqqi agar menghilangkan akal dan pemahamannya ketika bertalaqqi dari syeikhnya yang memberikan kepadanya berbagai syubhat dan kebatilan sedikit-demi sedikit serta meletakkan kaidah zhalim ini : "Jadilah kamu dihadapan guru seperti mayat dihadapan orang yang memandikannya.”

Mereka berkata,”Diantara sikap kurang beradab dan sebab-sebab pengharaman adalah menentang syeikh, bertanya kepadanya tentang dalil, seperti ada ungkapan ‘barangsiapa yang mengikuti seorang syeikh kemudian menentangnya maka orang itu telah sesat’ atau ungkapan-ungkapan lainnya yang mengandung kebatilan. Untuk itu diharuskan bagi ahli kebenaran—ahlus sunnah wal jama’ah—agar menyingkap kesalahan dan menerangkan kebatilannya bahwa ia adalah cara-cara yang menyimpang dan jalan-jalan yang jauh dari petunjuk Nabi saw dan para sahabatnya.

Al Alusiy didalam kitabnya “Ghoyah al Amaniy fii ar Rodd ‘ala an Nabhaniy” mengatakan bahwa musibah yang paling besar terhadap agama dan negara yang menimpa manusia pada masa sekarang ini adalah perlakuan bid’ah ar Rifa’iyah. Tidaklah terdapat suatu bid’ah kecuali bersumber dari mereka, berasal dari mereka. Dzikir mereka bagaikan sebuah tarian dan nyanyian, berlindung kepada selain Allah, ibadah dan amal-amal para syeikh mereka bagaikan menggenggam ular.

Cukuplah bukti yang menjelaskan kebatilan dan penyimpangan tarekat-tarekat ini yaitu anggapan bahwa tarekat ini bisa mencapai kesempurnaan kewalian yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari kedudukan nubuwah (kenabian) disisi mereka, sebagaimana perkataan orang yang mengatakan bahwa kedudukan nubuwah di barzakh sedikit diatas rasul dan berbeda dengan wali.” Dan perkataan al Busthami,”Kami menyelami samudra sementara para Nabi hanya berada di tepiannya.”

Pelampauan batas mereka yang lebih besar dari itu adalah pengakuan kebanyakan dari mereka bahwa mereka memiliki kekhususan dari Allah swt, seperti perkataan al Halaj,”Kalaulah bukan tali kekang syariat terhadap lidahku pastilah aku memberitahu kalian tentang apa ang akan terjadi besok dan juga lusa hingga hari kiamat.” Pengakuan terhadap pengetahuan ghaib seperti ini adalah kekufuran.

Dia juga menegaskan aqidah al Hulul (Tuhan mengambil tubuh manusia tertentu untuk tempat-Nya) dan al Ittihad (dirinya bersatu dengan Tuhan)….

Ringkasnya : bahwa tarekat-tarekat dan wirid-wirid yang dilantunkan orang-orang sufi adalah cara-cara yang batil, dzikir-dzikir yang dibuat-buat meski terkadang masyru’ (sesuai syariat) secara dzatnya akan tetapi tetapi dicampur-campur dengan yang lainnya, dilantunkan dengan cara-cara dan bentuk-bentuk yang keluar dari pokok disyariatkannya dzikir-dzikir itu.

Sedangkan cara yang benar adalah yang menghubungkannya dengan Allah dan merealisasikan kecintaan terhadap-Nya dan redho kepada-Nya, inilah tarekat nabi kita Muhammad saw, para khalifah dan sahabat-sahabatnya, para tabi’in, orang-orang setelah mereka yang mengikutinya hingga hari kiamat.

Firman Allah swt :

وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُم مَّاء غَدَقًا


Artinya : “Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).” (QS. Al Jin : 16)

Ia adalah tarekat (jalan) yang satu bukan jalan-jalan lain, ia adalah jalan satu yang lurus, jalan yang satu bukan jalan-jalan yang banyak, firman Allah swt :

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ


Artinya : “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al An’am : 153)

Jalan inilah yang dilalui oleh nabi kita Muhammad saw dan para sahabatnya. Karena itu Allah swt berfirman :

فَإِنْ آمَنُواْ بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ فَقَدِ اهْتَدَواْ وَّإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ


Artinya : “Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, Sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al Baqoroh : 137)

Didalam riwayat Tirmidzi dari Nabi saw bersabda,”Hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khalifah rasydin yang telah mendapatkan petunjuk setelahku. Peganglah itu dan gigitlah ia dengan graham. Dan waspadalah kalian dengan perkara-perkara yang baru, sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat.”

Pada akhirnya perlu kiranya mengingatkan dua hal penting :

1. Tidak seyogyanya mengecam tashawuf secara mutlak. Akan tetapi di sana terdapat pula tashawuf yang benar yang berpegang dengan aturan-aturan syariat untuk mensucikan dan membersihkan jiwa. Inilah yang dilakukan oleh sebagian ulama, orang-orang zuhud pada masa-masa awal sebelum masuknya berbagai penyimpangan dan bid’ah pada diri orang-orang tashawwuf (sufi).

2. Bahwa ilmu tentang keadaan hati atau yang disebut dengan Ilmu Suluk tidaklah diambil kecuali dari orang-orang yang aqidahnya benar, istiqomah perbuatannya, mengikatkan berbagai urusannya dengan al Qur’an dan Sunnah yang shahih. Tidaklah sepatutnya melakukan penipuan dengan perbuatan sebagian para pelaku bid’ah dan kerasnya ibadah mereka, maka perkara ini sebagaimana dikatakan Sufyan—semoga Allah merahmatinya—bahwa jika seseorang melakukan perbuatan bid’ah maka sesungguhnya setan telah melemparkan kepadanya bentuk ibadah untuk menjaring mereka.” (Markaz al Fatwa, fatwa No. 13742)

Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar