Jumat, 12 Maret 2010

BOLA UNTUK ANAK

Inikah nasib ?. Terlahir sebagai menantu bukan pilihan. Tapi aku dan Kania harus tetap menikah. Itu sebabnya kami ada di Kantor Catatan Sipil. Wali kami pun wali hakim. Dalam tiga puluh menit, prosesi pernikahan kami selesai. Tanpa sungkem dan tabur melati atau hidangan istimewa dan salam sejahtera dari kerabat, tapi aku masih sangat bersyukur karena Lukman dan Naila mau hadir menjadi saksi.
Umurku sudah menginjak seperempat abad dan Kania di bawahku. Cita- cita kami sederhana, ingin hidup bahagia, itu 25 tahun yang lalu.

22 tahun yang lalu

Pekerjaanku tidak begitu elite, tapi cukup untuk biaya makan keluargaku, ya keluargaku. Karena sekarang aku sudah punya momongan seorang putri dan kunamai ia Kamila. Aku berharap ia bisa menjadi perempuan sempurna, maksudku kaya akan budi baik hingga dia tampak sempurna. Kulitnya masih merah, mungkin karena ia baru berumur seminggu. Sayang, dia tak dijenguk kakek-neneknya dan aku merasa prihatin. Aku harus bisa terima nasib kembali, orangtuaku dan orangtua Kania tak mau menerima kami. Ya… sudahlah, aku tak berhak untuk memaksa dan aku tidak membenci mereka. Aku hanya yakin, suatu saat nanti, mereka pasti akan berubah.

19 tahun yang lalu

Kamila ku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang berlari-lari, melompat-lompat atau meloncat dari meja ke kursi lalu dari kursi ke lantai kemudian berteriak "Horeee, Iya bisa terbang". Begitulah dia memanggil namanya sendiri, iya… kembang senyumnya selalu merekah seperti mawar di pot halaman rumah. Dan Kania (Mamanya) tak jarang berteriak "Iya sayaaang," jika sudah terdengar suara "Prang". Itu artinya ada yang pecah, bisa vas bunga, gelas, piring, atau meja kaca. Terakhir cermin rias ibunya yang pecah waktu dia melompat dari tempat tidur ke lantai, boneka kayu yang dipegangnya terpental. Dan dia cuma bilang "Kenapa semua kaca di rumah ini selalu pecah, Ma ?".

18 tahun yang lalu

Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih awal dari pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu. Kemarin lalu dia merengek minta dibelikan bola. Kania tidak membelikannya karena tak mau anaknya jadi tomboy apalagi jadi pemain bola seperti yang sering diucapkan anak kami itu "Nanti kalau sudah besar, Iya mau jadi pemain bola". Tapi aku tidak suka dia menangis terus minta bola, makanya kubelikan ia sebuah bola. Paling tidak aku bisa punya lawan main setiap Sabtu sore. Dan seperti yang sudah kuduga, dia bersorak kegirangan waktu kutunjukkan bola itu. "Horee, Iya jadi pemain bola".

17 Tahun yang lalu

Iya…… Iya…… Bapak kan sudah bilang jangan main bola di jalan. Mainnya di rumah saja. Coba kalau ia nurut, Bapak tidak akan seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana Kania bisa tidak tahu Iya menyembunyikan bola di tas sekolahnya. Yang aku tahu, hari itu hari Sabtu dan aku akan menjemputnya dari sekolah. Kulihat anakku sedang asyik menendang bola sepanjang jalan pulang dari sekolah dan ia semakin ke tengah jalan. Aku berlari menghampirinya, rasa khawatirku mengalahkan kehati-hatianku dan sebuah truk pasir telak menghantam tubuhku, lindasan ban besarnya berhenti di atas dua kakiku. Waktu aku sadar, dua kakiku sudah diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini. Bayang-bayang kelam menyelimuti pikiranku, tanpa kaki, bagaimana aku bekerja sementara pekerjaanku mengantar barang dari perusahaan ke rumah konsumen. Kulihat Kania menangis sedih, bibirnya cuma berkata "Coba kalau kamu tak belikan ia bola".

15 tahun yang lalu

Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uang pesangon habis untuk ke rumah sakit dan uang tabungan menguap jadi asap dapur. Kania mulai banyak mengeluh dan Iya mulai banyak dibentak. Aku hanya bisa membelainya dan bilang kalau Mamanya sedang sakit kepala makanya cepat marah. Perabotan rumah yang bisa dijual sudah habis. Dan aku tak bisa berkata apa-apa sewaktu Kania hendak mencari kerja ke luar negeri. Dia ingin penghasilan yang lebih besar untuk mencukupi kebutuhan Kamila. Diizinkan atau tidak diizinkan dia akan tetap pergi, begitu katanya dan akhirnya dia memang pergi ke Malaysia.

13 tahun yang lalu

Setahun sejak kepergian Kania, keuangan rumahku sedikit membaik tapi itu hanya setahun. Setelah itu tak terdengar kabar lagi. Aku harus mempersiapkan uang untuk Kamila masuk SMP. Anakku memang pintar, dia loncat satu tahun di SD-nya. Dengan segala keprihatinan kupaksakan agar Kamila bisa melanjutkan sekolah. Aku bekerja serabutan, mengerjakan pekerjaan yang bisa kukerjakan dengan dua tanganku. Aku miris, menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku yang tumbuh remaja dan aku tahu dia ingin menikmati dunianya. Tapi keadaanku mengurungnya dalam segala kekurangan. Tapi aku harus kuat. Aku harus tabah untuk mengajari Kamila hidup tegar.

10 tahun yang lalu

Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku. Dan Kamila hanya sanggup berlari ke dalam rumah, lalu sembunyi di dalam kamar. Dia sering jadi bulan-bulanan hinaan teman sebayanya. Anakku cantik seperti ibunya, "Biar cantik kalo kere ya ke laut aje". Mungkin itu kata-kata yang sering kudengar. Tapi anakku memang sabar, dia tidak marah walau tak urung menangis juga. "Sabar ya, Nak!" hiburku. "Pak, Iya pake jilbab aja ya, biar tidak diganggu" pintanya padaku. Dan aku menangis. Anakku maafkan bapakmu, hanya itu suara yang sanggup kupendam dalam hatiku. Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas dari kerudungnya. Dan aku bahagia anakku, ternyata kamu sudah semakin dewasa. Dia selalu tersenyum padaku. Dia tidak pernah menunjukkan kekecewaannya padaku karena sekolahnya hanya sampai bangku SMP.

7 tahun yang lalu

Aku merenung seharian, ingatanku tentang Kania istriku kembali menemui pikiranku. Sudah bertahun-tahun tak kudengar kabarnya. Aku tak mungkin bohong pada diriku sendiri, jika aku masih menyimpan rindu untuknya. Dan itu pula yang membuat aku takut. Semalam Kamila bilang dia ingin menjadi TKI ke Malaysia. Sulit baginya mencari pekerjaan disini yang cuma lulusan SMP. Haruskah aku melepasnya karena alasan ekonomi. Dia bilang aku sudah tua, tenagaku mulai habis dan dia ingin agar aku beristirahat. Dia berjanji akan rajin mengirimi aku uang dan menabung untuk modal. Setelah itu dia akan pulang, menemaniku kembali dan membuka usaha kecil-kecilan. Seperti waktu lalu, kali ini pun aku tak kuasa untuk menghalanginya. Aku hanya berdoa agar Kamila ku baik-baik saja.

4 tahun lalu

Kamila tak pernah telat mengirimi aku uang. Hampir tiga tahun dia disana. Dia bekerja sebagai seorang pelayan di rumah seorang nyonya. Tapi Kamila tidak suka dengan laki-laki yang disebutnya datuk. Matanya tak pernah siratkan sinar baik. Dia juga dikenal suka perempuan. Dan nyonya itu adalah istri mudanya yang keempat. Dia bilang dia sudah ingin pulang karena akhir-akhir ini dia sering diganggu oleh sang datuk. Lebaran tahun ini dia akan berhenti bekerja. Itu yang kubaca dari suratnya. Aku senang mengetahui itu dan selalu menunggu hingga masa itu tiba. Kamila bilang, aku jangan pernah lupa shalat dan kalau kondisiku sedang baik usahakan untuk shalat tahajjud. Tak perlu memaksakan untuk puasa sunah, yang pasti setiap Bulan Ramadhan aku harus berusaha sebisa mungkin untuk kuat hingga beduk maghrib berbunyi. Kini anakku lebih pandai menasihati daripada aku. Dan aku bangga.

3 tahun 6 bulan yang lalu

Inikah badai ?. Aku mendapat surat dari Kepolisian Pemerintahan Malaysia, kabarnya anakku ditahan. Dan dia diancam hukuman mati, karena dia terbukti membunuh suami majikannya. Sesak dadaku mendapat kabar ini. Aku menangis, aku tak percaya. Kamila ku yang lemah lembut tak mungkin membunuh. Lagipula kenapa dia harus membunuh. Aku meminta bantuan hukum dari Indonesia untuk menyelamatkan anakku dari maut. Hampir setahun aku gelisah menunggu kasus anakku selesai. Tenaga tuaku terkuras dan airmataku habis. Aku hanya bisa memohon agar anakku tidak dihukum mati andai dia memang bersalah.

2 tahun 6 bulan yang lalu

Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah. Dan dia harus menjalani hukuman gantung sebagai balasannya. Aku tidak bisa apa-apa selain menangis sejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergi, apakah nasibnya tak akan seburuk ini ?. Andai aku tak belikan ia bola apakah keadaanku pasti lebih baik ?. Aku kini benar-benar sendiri. Wahai Allah kuatkan aku. Atas permintaan anakku, aku dijemput untuk terbang ke Malaysia. Anakku ingin aku ada disisinya di saat terakhirnya. Lihatlah, dia kurus sekali, dua matanya sembab dan bengkak. Ingin rasanya aku berlari tapi apa daya kakiku tak ada. Aku masuk ke dalam ruangan pertemuan itu, dia berhambur ke arahku, memelukku erat, seakan tak ingin melepaskan aku. "Bapak, Iya Takut!", aku memeluknya lebih erat lagi. Andai bisa ditukar, aku ingin menggantikannya. "Kenapa Iya ?, Kenapa kamu membunuhnya Sayang ?" tanyaku pada anakku Iya. "Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya, Pak. Iya tidak mau. Iya dipukulnya. Iya takut, Iya dorong dan dia jatuh dari jendela kamar. Dan dia mati. Iya tidak salah kan, Pak!". Aku perih mendengar itu. Aku iba dengan nasib anakku. Masa mudanya hilang begitu saja. Tapi aku bisa apa, istri keempat lelaki tua itu menuntut agar anakku dihukum mati. Dia kaya dan lelaki itu juga orang terhormat. Aku sudah berusaha untuk memohon keringanan bagi anakku, tapi menemuiku pun ia tidak mau. Sia-sia aku tinggal di Malaysia selama enam bulan untuk memohon keringanan hukuman pada wanita itu.

2 tahun yang lalu

Hari ini anakku akan dihukum gantung. Dan wanita itu akan hadir melihatnya. Aku mendengar dari petugas jika dia sudah datang dan ada di belakangku. Tapi aku tak ingin melihatnya. Aku melihat isyarat tangan dari hakim di sana. Petugas itu membuka papan yang diinjak anakku. Dan "Blass" Kamila ku kini tergantung. Aku tak bisa lagi menangis. Setelah yakin sudah mati, jenazah anakku diturunkan. Aku mendengar langkah kaki menuju jenazah anakku. Dia menyibak kain penutupnya dan tersenyum sinis. Aku mendongakkan kepalaku, dan dengan mataku yang samar oleh air mata aku melihat garis wajah yang kukenal.

"Kania ?".
"Mas Har, kau ?".
"Kau… kau bunuh anakmu sendiri, Kania" Sahutku.
"Iya ? Dia..... dia..... Iya ?" Serunya getir menunjuk jenazah anakku.
"Ya, dia Iya anak kita. Iya yang ingin jadi pemain bola jika sudah besar".
"Tidaaaak..... tidaaaaak……" Kania berlari ke arah jenazah anakku.

Diguncangnya tubuh kaku itu sambil menjerit histeris. Seorang petugas menghampiri Kania dan memberikan secarik kertas yang tergenggam di tangannya waktu dia diturunkan dari tiang gantungan. Bunyinya "Terima kasih Mama".

"Aku baru sadar, kalau dari dulu Kamila anakku sudah tahu wanita itu ibunya setahun lalu. Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih istriku ?. Yang aku tahu, aku belum pernah menceraikannya. Terakhir kudengar kabarnya dia mati bunuh diri. Dia ingin dikuburkan di samping kuburan anakku, Kamila. Kata pembantu yang mengantarkan jenazahnya padaku, dia sering berteriak "Iya sayaaang, apalagi yang pecah, Nak". Kamu tahu Kania, kali ini yang pecah adalah hatiku. Mungkin orang tua kita memang benar, tak seharusnya kita menikah. Agar tak ada kesengsaraan untuk Kamila anak kita. Benarkah begitu Iya sayang ?.

(true story)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar