Proses, merupakan kata sakral yang sering disebut-sebut dalam setiap momen. Rasanya tidak ada satu sisi kehidupanpun yang terlepas dari cengkraman kata "proses." Mulai dari menatap dunia sampai dengan menutup dunia pasti ada proses yang membackdropi semua cerita.
Kalau selama ini ada istilah ujian adalah garamnya kehidupan, nah proses bisa dianalogikan sebagai kokinya. Lho kok kenapa koki? Yups, karena kokilah yang mempunyai peranan penting dalam mengeksekutor semua hal. Enak atau tidaknya suatu makanan tergantung kejelian, keahlian, ketangkasan, kekreatifan, dan kecerdasan koki dalam memformulasikan bumbu dengan bahan-bahan lainnya. Jadi bisa dikatakan, sebagus apapun input bila tidak diproses secara optimal akan menghasilkan suatu hal yang sama saja (bila tidak mau dikatakan tidak ada spesial-spesialnya sama sekali). Dan sebaliknya, input yang biasa-biasa saja, namun sang koki mampu mentreatmentnya dengan benar dan sesuai akan menghasilkan output yang spesial juga.
Ilustrasi di atas dihadirkan tidak lain adalah untuk mengibarkan kalimat berikut, "Seinstan instannya instan, tetap saja melewati fase proses." Contoh nyata dari kalimat ini adalah bayangkan kamu akan membuat secangkir kopi instan. Walaupun tuh kopi bertemakan instan, tetapi tetap saja untuk terwujud menjadi segelas kopi yang nikmat, (minimal) kita perlu menyediakan air panas dan gelas. Terus ngaduknya gimana? Pakai jari tangan juga cukup, hehehe.
Menikah Perlu Proses
Menikah, sebuah kata yang paling enak untuk dibicarin. Benar (secara dah mupeng gitu loh...). Menikah adalah sebuah titik kulminasi bagi seorang hamba dalam rangka mengekspansi wilayah jajahan ibadahnya. Kompensasi setelahnya adalah akan menambah tanggung jawab yang dipikul. Mulai dari tanggung jawab menyayangi sampai dengan menafkahi. Nah, point terakhir inilah yang membuat seseorang mengulur waktu keberlangsungannya. Mulai dari finansial yang belum cukup sampai dengan banyak target yang belum terlunasi dijadikan alasan buat mengesahkannya. Padahal, kalau mau diobrolin semuanya juga akan baik-baik saja. Yang penting ada itikad baik serta kesungguhan untuk memulai prosesnya. Jadi deh, hehehe.
Tetapi wajar saja sih ada pikiran dan kekhawatiran tentang: Apakah si dia mampu menjadi imam yang baik atau apakah si dia mampu menjadi makmum yang baik? Mampukah saya menafkahi keluarga saya kelak atau mampukah saya mengatur "kas negara" dan mencari sumber dana tambahan untuk kelangsungan keluarga saya? Sederajatkah saya dengan dia atau maukah dia dengan saya yang memiliki derajat dibawahnya? Sudikah kiranya keluarganya akan menerima keberadaan saya? Maukah dia menerima saya sebagai pasangan? Kriteria apa yang membuat dia menerima saya? Terakhir siapa saya hingga bisa berdampingan dengan dia?
Hal-hal tersebutlah yang sering berkecamuk di kepala orang-orang yang sudah kepikiran untuk melangkah ke dunia pernikahan. Yang akhirnya banyak alasan untuk menolak setiap orang yang datang. Di sinilah letak kekuatan lelaki dan perempuan bermain, agar prosesi ke jenjang pernikahan termuluskan jalannya dan tidak menjadi kecut karenanya.
Kekuatan seorang lelaki adalah pada saat dia mampu memutuskan siapakah yang akan menjadi pendamping hidupnya. Dan letak kekuatan seorang perempuan adalah pada saat dia meng-"i do"-kan keputusan sang lelaki yang jatuh padanya.
Bagi seorang lelaki, berani menikahi perempuan adalah titik kulminasi seorang dikatakan pria sejati. Finansial dan kedudukan sang perempuan tidak menjadikan langkah pemberat seorang lelaki untuk menikahinya. Justru lelaki sejati adalah yang berani menerima tantangan itu dengan berpegang pada prinsip (selain Quran dan Hadis ya), "Tetap berpenghasilan daripada berpenghasilan tetap." Dan sejatinya, titik kulminasi seorang perempuan adalah menerimanya dengan keikhlasan dan kesungguhan hati bahwa dialah seorang terbaik yang telah ALLAH pilihkan untuk menjadi imamnya.
Jumat, 12 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar