Jumat, 12 Maret 2010

TENTANG RINDU SEORANG IBU

Ia tersenyum. Sebongkah kenangan hadir di pelupuk mata. Tawa riang seorang gadis kecil, isak tangis sang buah hati, dan kemanjaannya yang menggemaskan. Curahan kasihnya yang melimpah, telah membentuk anak kesayangannya itu menjadi gadis manja yang cerdas namun keras kepala.

Terbayang saat hujan deras mengguyur bumi, ia berjalan sekian kilometer untuk menjemput sang buah hati dari sekolahnya. Jalanan licin tak beraspal, bukan halangannya untuk membawakan sebuah payung untuk si putri kesayangan. Dan ketika sang buah hati datang dengan sebuah senyum dan ciuman di tangan, alangkah bahagia hatinya, terbanglah seketika segala penat yang sempat meraja di tubuhnya yang letih.
Dan ia masih tersenyum, meski ketika hari demi hari, sang buah hati ternyata semakin manja. Ia tetap selalu rindu memandang wajah putri tercinta, meski di wajah itu tercoret garis cemberut, meski kata-kata ketus kerap terlontar dari mulut sang buah hati. Ia tahu, buah hatinya tak pendai menyimpan rasa seperti dirinya, hingga segala apa yang dirasa di dalam hati sang putri, begitu pulalah yang terlukis di wajahnya.

Ia pun rindu, ketika gadis kecilnya pulang membawa setumpuk kelereng, atau membawa sekantung karet gelang. Ia tahu, putri kesayangannya main apa saja, dengan siapa saja. Dia tetap menyimpan rindu, ketika memarahi gadis kecilnya yang setiap hari main kelereng, main layang-layang, main kejar-kejaran, main pukul-pukulan bahkan dengan anak laki-laki tetangganya, atau dengan anak laki-laki sepupu-sepupunya. Anak perempuan kok kasar mainnya sih neng ?, yang lembut atuh geulis ?, begitu selalu nasihatnya.

Ah ? bidadari kecilnya itu tak seperti anak kebanyakan, ia terlalu aktif. Ia selalu ingin tahu, ia selalu ingin mencoba. Terbayang bagaimana gesitnya gadis kecil kesayangannya itu memanjat pohon. Teringat bagaimana saat gadis kecil itu masih dalam kandungannya, suaminya tercinta begitu mendambakan anak itu lahir laki-laki. Dan ternyata anak itu perempuan. Anak perempuan yang tidak suka bermain boneka, anak perempuan yang tidak berwatak perempuan, anak perempuan yang sama sekali tidak lembut, tidak gemulai, tidak penurut seperti seharusnya. Dan ia tetap rindu anak perempuannya itu, gadis kecil manja dan keras kepala, yang menjadi kesayangannya.

Gadis itu kini telah dewasa. Ia tak lagi senang bermain kelereng, tak lagi bermain dengan anak laki-laki, tak lagi senang memanjat pohon. Tetapi bidadari kecilnya itu, tak lagi dimilikinya. Gadis itu jauh dari sisinya. Anak manja kesayangannya, tak bisa ia pandangi wajahnya setiap hari. Bahkan cemberut dan pembangkangannya yang sering membuatnya jengkel pun, kali ini menjelma menjadi kenangan yang begitu indah.

Ia rindu semuanya. Bahkan jika si putri manja itu datang sambil cemberut atau menangis pun, ia tetap rindu. Justru saat sang buah hati menyadari kerinduannya, ia tak bisa menikmatinya. Sang Pemilik Jiwa telah memanggilnya pulang. Sang buah hati, pulang membawa setumpuk penyesalan. Dan betapa saat ini, setelah sekian tahun, rasa kehilangan itu tak sedikit pun berkurang. Ia tahu, arti rindu itu ?.

Ciumlah tangannya, selagi kau masih bisa menyalaminya.
Pulanglah padanya, selagi kau masih bisa menjumpainya.
Tersenyumlah padanya, selagi matanya yang sarat kasih masih bisa memandang wajahmu.
Dan ungkapkanlah cintamu, selagi ia masih ada.
Pulanglah sebelum kesempatan itu hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar